- Judul Artikel: Hak Atas Kekayaan Intelektual dan Perkembangannya
- Date Published: January, 2005
- Topics: Others – Intellectual Property
- Type: Artikel
Sinopsis
PENGLIHATAN DARI SEBUAH PRISMA
Kita semua pernah menjadi turis, biasanya karena mau jalan ke manca negara, semua sobat sanak diberitahu dan lahirlah sebuah list titipan atau daftar cinderamata atau oleh-oleh. Karena dananya terbatas, untuk membuat semua oleh-oleh terpenuhi tentu kita memanfaatkan pemandu turis untuk memberitahu dimana bisa beli oleh-oleh dengan harga “miring”. Oleh pemandu yang sangat mengerti keadaan keuangan para turis, kita acapkali diantar ke sebuah “mall” yang menjajfkan banyak produk bergengsi dengan harga yang sesuai dengan kantong kita.
Tak beda, entah di Paris, New York (jadi tidak hanya di negara berkembang saja), Seoul, atau di Johor, dengan mudah akan mendapatkan produk seperti Louis Vuitton (LV), Murakami, atau Gucci, dil. dengan harga kisaran di bawah $ US 50 dengan kemitipan sesuai asli yang tidak dapat dideteksi oleh mata awam. Tentu kita berfikir, apa salahnya menyenangkan sobat dan sanak handai tolan.
Harga murah, barang sesuai dengan asli, si penerima oleh-oleh pasti menyambut gembira, si penjual senang karena jajanannya laku. Crime without victim kah ia? Sulit kita mencari pembenaran dari akal kita bahwa itu akan merugikan seseorang.
Ronald K. Noble, Sekretaris Jendral Interpol, mengungkapkan di House Committee on International Relations di tahun 2003, bahwa mereka penegak hukum melihat ” …the connection in areas between terrorist financing and intellectual property crime”. Dan itu digarisbawahi oleh Tim Investigasi Bazaar yang juga menegaskan bahwa: Counterfeiting of luxury goods causes great harm indeed: to the brands that spend millions combating it, to the citizens who lose the benefit of taxes that would be paid on legitimate sales, to the children who work in factories that do not meet basic safety standards and to anyone at the mercy of terrorists. Yes terrorists.’
Menurut data mereka peningkatan barang barang palsu itu mencapai 1700 % dibanding tahun 1993. Produsen barang ‘branded’ seperti LV mempekerjakan 40 ahli hukum fulltime dan 250 penyidik dengan biaya 19,5 juta US $, untuk mengatasi dan memerangi pemalsuan produk-produk mereka. Perjuangan mereka untuk memerangi pemalsuan in menghasilkan pengaturan atau perangkat hukum yang lumayan keras setidakya di Perancis dan negara yang tergabung di Uni Eropa.
Karena sanksi dijatuhkan tidak saja kepada para pemalsu produsennya, maupun pengedarnya, melankan juga kepada para pembelinya. Bahkan tengah dikampanyekan bahwa bila turis melewati wilayah mereka membawa barang counterfeit tersebut -entah dari mana kita membelinya, kita akan dikenai denda 300,000 Euros.2 Wah, informasi semacam ini perlu disebarkan kepada rekan ibu-ibu di Indonesia, yang memang punya sifat ‘wah’.
- Anda dapat membaca artikel Hak Atas Kekayaan Intelektual dan Perkembangannya di bawah ini: