Perubahan iklim di dunia sudah menjadi kesepahaman umum. Para ilmuwan dari berbagai negara telah membuktikan bahwa perubahan iklim diakibatkan oleh naiknya suhu bumi yang berakibat munculnya fenomena alam yang merugikan manusia. Beberapa akibat kenaikan suhu bumi antara lain melelehnya es di kutub, semakin banyak badai yang merusak, kekeringan berat, suhu air laut yang meningkat, kepunahan spesies flora maupun fauna, kelaparan, meningkatnya resiko kesehatan, bahkan kemiskinan.

Menanggapi isu perubahan iklim ini, negara-negara bergerak mengambil langkah untuk mencoba menanggulangi dampak yang sedang ataupun akan terjadi. Salah satunya dengan komitmen yang disepakati dalam kerangka United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tahun 1992 di Rio de Janeiro. Dalam kerangka ini, telah lahir beberapa kesepakatan di antaranya Kyoto Protocol (1997) serta Paris Agreement (2015). Indonesia telah menjadi negara pihak yang menandatangani Paris Agreement melalui Undang- Undang No.16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations framework Convention on Climate Change yang meratifikasi Paris Agreement tersebut.
Paris Agreement meminta komitmen negara pihak untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 20 C dan melakukan upaya untuk menjaga suhu global tetap di 1.50 C. Untuk itu negara pihak perlu melakukan penyesuaian bahkan perubahan dalam wilayah masing-masing. Negara diminta untuk menetapkan komitmen target penurunan emisi gas rumah kaca di wilayah masing-masing atau yang dikenal dengan Nationally Determined Contribution (NDC). Komitmen ini disampaikan kepada sekretariat UNFCCC oleh setiap negara anggota. Tujuan utama Paris Agreement adalah menciptakan kondisi carbon neutral, atau dimana tidak ada lagi emisi di dunia (net zero emission).
Indonesia telah menunjuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menjadi koordinator dalam penanggulangan perubahan iklim. Pada komitmen terakhir (Enhanced NDC) yang disampaikan pada September 2022, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan 43,20% emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Â bila dibantu negara lain atau 31,89 % bila dilakukan sendiri pada tahu 2030. Dengan demikian, Indonesia memiliki waktu sekitar 7 tahun untuk mencapai target tersebut.
Tentu, disadari berbagai pihak bahwa tugas memperbaiki, menanggulangi dan menjaga kelestarian alam adalah tugas bersama. Namun di sisi lain, persebaran kemampuan untuk mencapai cita-cita net zero emission tidaklah sama. Untuk itu bentuk kontribusi yang dapat disumbangkan pun berbeda. Disparitas ini membuka peluang untuk kerjasama antar negara, bersama-sama berusaha memenuhi komitmen negara.
Penguatan Kerangka Hukum Untuk Mendukung Pemenuhan Komitmen Nasional Menuju Indonesia Yang Lebih Hijau
Sebagaimana disadari, upaya menanggulangi dampak perubahan iklim membutuhkan peran berbagai pihak. Tidak hanya kerjasama antar negara, namun juga koordinasi antar lembaga dalam satu negara. Upaya-upaya memenuhi komitmen NDC sebuah negara tidak dapat hanya dilakukan oleh Pemerintah sendiri. Peran aktif masyarakat, termasuk industri juga sangat berperan untuk mencapai komitmen tersebut.
Perusahaan menjadi pelaku utama dalam menjalankan upaya-upaya tersebut. Misalnya, salah satu sektor penyumbang emisi yang besar adalah sektor energi yakni sekitar 584.284 Gg CO2e atau sekitar 55% dari keseluruhan emisi Indonesia pada tahun 2020, sesuai tertera di hal 58 dari Laporan IGRK MPV, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2021. Sektor energi di Indonesia masih di dominasi oleh sumber energi fosil. Bila saja pelaku industri sektor energi dapat mengurangi atau bahkan mengubah sumber energi yang mereka gunakan menjadi sumber energi yang menghasilkan minim emisi, maka tentu sumbangan emisi akan sangat berkurang.
Gambar 1: Profil Emisi GRK Nasional Tahun 2000-2020
Sumber: Laporan IGRK MPV, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2021
Di sisi lain, industri tidak dapat bergerak sendiri. Kepastian hukum menjadi kunci yang diharapkan, agar industri dapat berhitung dan mempertimbangkan langkah ke depan. Di sini peran pemerintah menjadi vital, untuk memberikan koridor, serta infrastruktur pendukung bahkan pendorong. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan tentu sisi kesiapan industri untuk bertransformasi, kemampuan finansial, teknologi, sumber daya manusia serta ketersediaan alternatif yang lebih ramah lingkungan.
Peran pemerintah yang diharapkan tentunya dengan memberikan kebijakan yang dituangkan dalam suatu peraturan sehingga kebijakan tersebut menjadi ajeg dan memberikan kepastian bagi industri. Selain itu insentif pun kiranya baik diberikan agar industri dapat bertransformasi lebih cepat. Insentif yang dapat diberikan misalnya dalam hal keringanan bea impor karena teknologi yang dibutuhkan tidak ada di Indonesia.
Kebijakan yang diberikan tentu tidak hanya dari satu sektor. Dukungan finansial, teknologi serta kebijakan teknis per sektor sangat berpengaruh terhadap kesuksesan penurunan jumlah emisi sesuai komitmen nasional. Sehingga sangat penting agar kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan saling mendukung. Selain itu perlu ada koordinasi yang baik antar lembaga pemerintah agar kebijakan yang dikeluarkan terencana dan sesuai momentum.
Bumi yang sehat, serta bebas polusi adalah cita-cita semua orang. Di sisi lain, memperbaiki kondisi alam membutuhkan waktu. Upaya yang dilakukan sekarang baru akan dinikmati oleh generasi selanjutnya. Namun hal ini sebaiknya tidak mengehentikan kita untuk mulai bergerak sebelum terlambat. Upaya-upaya untuk memperbaiki perubahan iklim ini tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja. Kerjasama antar negara, dan antar lembaga negara serta berbagai lapisan masyarakat sangat penting untuk mencapai kondisi bumi yang lebih sehat. Indonesia sudah berjanji untuk turut serta dalam upaya penurunan emisi. Komitmen yang disampaikan pun secara bertahap meningkat. Namun untuk mencapai komitmen tersebut, perlu dipertimbangkan berbagai hambatan yang dihadapi oleh industri dalam memenuhinya. Hambatan mana kiranya dapat diberikan dukungan oleh pemerintah dalam bentuk kebijakan yang dapat menjadi acuan para pemangku kepentingan.
Untuk kajian lebih lanjut mengenai sisi hukum isu perubahan iklim, dapat menghubungi EYR Center for Legal Studies.